Pemerintah telah menegaskan kembali mengenai regulasi yang melarang impor pakaian bekas (Thrifting). Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, berpendapat bahwa pelarangan thrifting hanya mencari kambing hitam, karena masalah utama bukanlah itu. Hal ini diungkapkan oleh Bhima saat diwawancarai oleh Republika.co.id pada hari Selasa (21/3/2023), seperti yang dilaporkan oleh Warta Ekonomi pada tanggal 23 Maret 2023.
Menurut Bhima Yudhistira, ancaman impor pakaian bekas tidak sebesar pakaian yang diimpor dari China ke Indonesia. Bhima menyebutkan bahwa nilai impor pakaian jadi dari China ke Indonesia lebih besar daripada impor pakaian bekas. “Pada tahun 2022, nilai impor pakaian bekas sebesar Rp 4,2 miliar, sedangkan nilai impor pakaian jadi dari China bisa mencapai Rp 6,2 triliun per tahun,” kata Bhima.
Oleh karena itu, Bhima Yudhistira menegaskan bahwa pada dasarnya pelarangan impor pakaian bekas tidak terkait dengan masalah utama, terutama dalam hal mematikan produk lokal di Indonesia. Bhima mengatakan bahwa impor pakaian bekas sudah ada sejak tahun 1990 dan pelarangan sudah dilakukan sejak tahun 2015. “Namun, industri tekstil baru terimbas parah ketika angka impor pakaian dari China meningkat,” kata Bhima.
Bhima Yudhistira menilai bahwa ada korelasi antara peningkatan penjualan pakaian impor dan alas kaki dari China dengan menurunnya industri pakaian jadi lokal, terutama impor pakaian Cina di pasar online. Sebelumnya, Kementerian Perdagangan telah melarang impor pakaian bekas melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 18 Tahun 2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor.
Pasal 2 Ayat 3 Permendag tersebut menyebutkan bahwa barang yang dilarang diimpor, salah satunya adalah kantong bekas, karung bekas, dan pakaian bekas. Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM) juga mengusulkan pelarangan thrifting karena dianggap merusak usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) lokal serta dapat merusak industri garmen dalam negeri.